Januari 2013
saat Jakarta terkepung banjir,
Cerahnya
langit pada saat tahun baru yang dibalas hujan kembang api oleh warga ibukota,
tak membuat pemapar pelangi itu mengembalikan pada bumi dengan pengembalian yang
terburuk. Yang Maha Kasih Membelai bumi dengan menjatuhkan keberkahan yang tak terbendung
karena tanah berubah aspal dan trotoar, sementara doa pinta hanya sekedar
keperluan warga semata. Bukan karena sadar jiwa akan hidup yang sementara.
Jakarta dalam
rengkuh langit,
Arus tlah
menggerus nafas waktu di sini, udara terbuka siarkan angin yang dingin,
hembusan rintik halus nan panjang mengiringi detik-detik sepanjang hari.
Memenuhi tanggul-tanggul, mengisi kali-kali, menggenangi jalan-jalan. Melagukan
desir hujan demi hujan.
Ibukota yang
basah,
Arus yang
kian kuat saat itu menyajikan korban demi korban, rumah tenggelam, warga
menghilang terseret tersapu, jalanan berubah kolam-kolam, mayat-mayat
sekali-sekali ditemukan.
Malam dalam
genggam awan,
Gelegar
halilintar terdengar menakutkan, membatalkan pulasnya orang-orang yang
tertidur, jendela berkabut sementara diluar langit menghitam mencekam,
gemericik air terlalu keras berdendang memantul, dari atap-atap rumah, dari
jalan-jalan aspal, dari saluran-saluran pembuangan, yang terpaksa terbagi pada
warga hingga tenggelam lah rumah mereka.
Daerah khusus
macet kini pun banjir,
Jalan tol
mendadak kemasukan motor, penertiban dimana-mana, tapi kesemrawutan terlihat
tetap rapi terjaga. Kemacetan asyik bercengkrama dengan waktu, memanjangkan
lalu lintas pagi dan petang, di jalan arteri pun jalan bebas hambatan.
Ketika
Jakarta berstatus siaga,
Jiwa-jiwa
bijak bertebaran, menerobos genangan untuk membantu dan berbagi, mulai dari
aparatur pemerintahan, ormas-ormas dan parpol-parpol, hingga kelompok pun orang
per orangan.
Tapi langit
masih menggemuruhkan celoteh awan,
Jakarta
seharusnya kencang berdoa, semoga tak masuk sejarah, daerah yang binasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar