Sabtu, 23 Maret 2013

Mari Belajar Bijak Memimpin


Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka juga mencintai kalian, kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka juga mendoakan kebaikan untuk kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka juga membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian. Kami bertanya, “Wahai Rasulullâh, tidakkah kita melawan mereka dalam keadaan demikian.” Beliau  menjawab, “Tidak, sepanjang mereka masih menegakkan sholat. Ingatlah, siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin lalu ia melihatnya melakukan sesuatu dari kemaksiatan kepada Allah, maka handaknya ia benci kepada maksiat yang dia lakukan dan jangan sekali-kali membatalkan ketaatan kalian kepada mereka. (Hadits ‘Auf bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu dalam riwayat Muslim)

Memimpin sebenarnya adalah seni mencintai yang meliputi kekuatan sabar mendengarkan, ketajaman hati dalam memahami yang kesemuanya harus terimplikasi dalam kebijaksanaan untuk menyejahterakan. Untuk itu hanya orang-orang tangguh berjiwa besar yang akan mampu berkuasa bersama cinta.



Karena memimpin berarti mencintai, maka menurut M. Anis Matta, Lc dalam Serial Cinta-nya; cinta mengajarkan kita untuk memperoleh hak-hak kita dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada orang lain. Itulah yang mempertemukan dua kutub jiwa. Pertemuan itulah yang membuat kita genap-menggenapi, dan saling menyempurnakan karya kehidupan. Jadi bukan karena cinta buta penuh ambisi dengan menghalalkan segala cara yang seharusnya diterapkan pemimpin sejati, tapi cinta yang membersamakan rasa pemahaman.

Sejarah pernah mencatat kearifan seorang pemimpin sejati di zaman sahabat nabi, dialah Umar Bin Khatab. Seorang khalifah yang pernah memanggul karung makanan dengan pundaknya sendiri untuk diberikan pada salah satu rakyatnya yang kelaparan. Begitulah jalan cinta mengajarkan seorang pemimpin, agar sabar mendengar lalu dengan nurani melangkah memahami.


“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”  (QS. As-Sajdah: 24)

Coba bandingkan dengan masa firaun, di mana rakyatnya berada dalam ketakutan dan perbudakan. Hingga suatu ketika firaun mengeluarkan aturan bahwa setiap anak laki-laki yang lahir agar dibunuh. Bayangkan mengapa itu bisa terjadi, padahal rakyat firaun adalah rakyat biasa yang taat pada titah rajanya.

Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). (QS. Al-Anbiyaa’: 11

Ternyata kezaliman mereka lah yang membuat mereka pun dizalimi firaun. Ini adalah sunatullah yang terjadi pada setiap manusia, ketika dia masih suka berbuat zalim maka kezaliman pun akan menyertainya.

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.(QS. Yunus: 13)

Sekarang mari sejenak kita tengok masyarakat kita dewasa ini, keputusasaan pada sosok pemimpin yang mampu menyejahterakan kini justru malah seakan menjadi pembenaran bagi para pengguasa untuk terus menindas rakyat.

Mari berfikir, adakah kita secara tidak sadar telah melakukan kezaliman kolektif dengan berburuk sangka pada Allah ? Seakan dengan persepsi keputusasaan ini kita telah mengizinkan Allah menghadirkan kezaliman-kezaliman di sekitar kita, sementara Allah pasti akan menghadirkan ketentraman dan kesejahteraan bila kita berbaik sangka pada ketentuan-Nya. 

Maka marilah kita terus belajar bijak memimpin minimalnya diri sendiri, yang bisa di mulai dari berbaik sangka pada Allah. Bahwa pemimpin yang ada disekitar kita dan para penguasa negeri ini pada umumnya, yang sanggup menghadirkan cinta dengan membesarkan Yang Maha Besar tanpa memuliakan selain Yang Maha Mulia saja lah kan mampu benar-benar melindungi, melayani dan menyejahterakan.

karena jika dalam tradisi kepemimpinan Amerika Serikat kita akan temui ungkapan: “Jangan bertanya apa yang diberikan negara padamu, tapi bertanyalah apa yang kamu berikan untuk negara?”, maka Islam mengajarkan melalui lisan Rasulullah yang bersabda:

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka juga mencintai kalian, kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka juga mendoakan kebaikan untuk kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka juga membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian.

Wallahu a’lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hagia Sophia dan Janji Allah

Hagia Sophia dan Janji Allah Syarif Taghian dalam bukunya, Erdogan: Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki mengisahkan saat Erdogan dit...