Kini
aku tak lagi ragu pada jelaga kelabu yang kerap meremuk-remuk rindu atas salju
yang hangat. Semenjak kalimat-demi kalimat ku teguk bagai anggur di musim
hujan, tak lagi rasanya kujumpai ocehan menantang yang selalu berhambur bagai
demonstrasi massa ketika penguasa tak lagi punya jiwa yang bijaksana. Sedih itu
memang sesekali hadir, tapi catatan-Nya telah abadi menghibur kegelapan malam
saat para insom tertawa mencatat tanda-tanda waktu yang kian menua.
Lelahpun
selalu beriring debu dibawah hamparan biru bak panggung seni dimana
burung-burung kecil meliuk-liuk bebas tanpa dosa. Lalu lalang itu merumitkan
detik yang tak kan bertahan lama, tapi selalu acuh dan keluh menghiasi putaran
lapisan tanah bumi.
Mengapa
rasanya semakin janggal bila celoteh itu menggema dan terus menggema
dimana-mana, tidakkah mereka merasa damai dengan tangisan embun pagi yang
bertasbih penuh cinta?saat matahari kembali dirangkul senja, lalu malam segera
siap menjelang membawa bintang-bintang penghias kesenyapan?atau saat altar maut
diperdengarkan dan mayat-mayat dibariskan ketika tanah suci dihanguskan?
Tidakkah
merasa malu pada gemericik air yang ketenangannya mampu menghanyutkan
berjuta-juta jiwa hingga mereka melayang menuju nirvana entah di entah sana?mampukah
kita bicara keteraturan, saat rimbun pegunungan berubah gersang, memerah
membara merekah menghanguskan wilayah dengan genangan dalam kesedihan?
Terkadang,
tanya dalam hati membuat tawaku menangis dibelukar hiruk pikuk hari-hari.
Adakah amarah-Mu tidak menyisakan cinta pada untaian doa malam atau di ribuan
sujud diperempat hari saat matahari belum sampai pada ubun-ubunku?tidak mungkin
semua sia-sia belaka.
Karena
jingga pelangi tidak seberapa indah menceritakan sebetapa megah kasih
sayang-Mu, dan semut-semut yang berarak-arakan pada pepohonan, dan kupu-kupu
berwarna mewah sekalipun. Tak mampu mengisahkan berapa lembar lagi yang tersisa
dari lauh mahfudz-Mu. Dan negeri yang dimana sungai-sungai mengalir di dalamnya
adalah nafas mimpi dalam aliran pada nadi urat syaraf manusia. Keindahannya
begitu dekat dan bersahabat dengan nurani apabila dia ada dihati.
Jika
begitu seharusnya tak ragu pada-Mu setiap yang hidup memenuhi kehidupan pekat
ini dan tak perlu menutup buku sijjin itu, karena dalam illiyyin sudah cukup menyejarah
sebagai bukti kemahadahsyatan cinta-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar