Ini kisahku sekitar tujuh tahun yang lalu,
Di waktu sedang semangat-semangatnya mencari keilmuan Islam, beberapa
pergerakan keislaman yang pernah saya ikuti memiliki sebutan khusus untuk para
pengikutnya. Seperti syabab sebutan untuk pengikut Hizbut Tahrir. Saya pun
pernah menjadi syi’i, sebutan untuk pengikut ajaran syiah.
Berangkat dari rasa keingintahuan dan amanah ibunda, saya ikut dalam
beberapa pengajian rutin syiah bersama ayah yang sudah lebih dulu menjadi
syi’i. Padahal saat itu saya pun tengah mencoba aktif menjadi seorang syabab
bersama beberapa teman Hizbut Tahrir, banyak dari mereka yang melarang dan
mewanti-wanti agar saya berhati-hati. Tapi itu malah membuat saya makin
penasaran akan ajaran syiah itu sendiri.
Kurang lebih dua tahun saya mengikuti pengajian dan acara-acara syiah, mulai
dari perayaan asyuro di Bandung dan Jakarta, hingga ritual malam nisfu syaban
di ICC Warung Buncit pun pernah saya ikuti. Sampai-sampai saya pun pernah
diberi beasiswa S1 dari mereka, pada Islamic College for Advanced Studies
Paramadina Jakarta. Dan saya lolos seleksi hingga sempat kuliah di fakultas
filsafat pada institusi itu meski hanya satu tahun.
Sebelumnya saya kurang banyak mengatahui kenapa syiah dianggap sebagai
aliran sesat. Awalnya yang saya mengerti adalah bahwa mereka sekumpulan orang
yang mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan ilmu dari gudang ilmu yang di
miliki Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sapintas jika berdiskusi dengan syi’i yang
sudah lama, mereka seolah memiliki gaya bahasa yang cerdas dan penjabaran yang
logis. Namun dibalik itu, ternyata tidak semua kerang dalam lautan samudera
berisi mutiara. Yang ini isinya malah kotoran berkerak yang di amini selama
beberapa abad hingga tumbuh subur menjamur.
Saat saya mengikuti perayaan asyuro pertama kali di Bandung kalo gak salah
sekitar tahun 2006 lalu, sempat kaget juga karena melihat banyaknya syi’i yang
berkumpul. Saya kira tadinya ajaran ini hanya terbatas kalangan tertentu dan
hanya diikuti sedikit orang, tapi ternyata tidak. Paling tidak, kurang lebih
sekitar 150 orang memadati acara tersebut. Dengan pakaian serba hitam, ada pula
yang ditambah corak warna merah darah bertulis arab Labbaika ya Husain.
Belum lagi pada acara inti, ketika penceramah sedang membaca kisah kematian
cucu Rasulullah. Yang hadir di ruangan itu hampir semua berdiri menangis
tersedu-sedu, bahkan ada yang sambil teriak meronta-ronta sambil mengepalkan
tangan dan memukulkannya ke dada masing-masing. Dalam hati saya berbisik,
“Oh... gini ya jadi orang syiah, ngeri juga euy ternyata”.
Belum lagi sewaktu di ICAS misalnya, awalnya yang tersaring masuk dan
menjalani perkuliahan berjumlah sekitar 140 orang dari sekitar 400 orang yang
mendaftar se-Indonesia. Namun dalam perjalanan nya banyak yang berguguran dan
meninggalkan bangku perkualiahan. Mungkin salah satu penyebab nya adalah,
adanya sisipan-sisipan materi tentang akidah syiah yang diberikan dosen sewaktu
mengajar.
Sebagai contoh yang sampai sekarang masih saya ingat, sewaktu mata kuliah
pengantar agama Islam. Ada salah satu sesi dimana dosen menerangkan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk. Dengan dalih bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya
ada dua jenis, jika tidak khalik (pencipta) maka dia adalah makhluk (ciptaan).
Sedangkan yang selama ini saya pahami sebagaimana yang di ajarkan kakek saya,
yang juga merupakan ajaran salaf bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah. “Gak bener
nih, ini jelas ajaran sesat dan menyesatkan”, dalam hati saya pada waktu itu.
Kengerian yang memuncak bagi saya waktu itu adalah, sewaktu mengikuti
ritual malam nisfu syaban di ICC Warung Buncit. Sebenarnya kegiatan ini adalah
pilihan yang ditawarkan beberapa dosen ICAS waktu itu, tapi ada yang mengatakan
kegiatan ini bagian dari ekstrakulikuler kampus. Akhirnya selepas jam kuliah
berakhir, saya dan beberapa teman datang ke sana mengikuti acara itu.
Saya sampai di ICC setelah adzan magrib menggaung, otomatis sesampainya di
sana yang saya cari adalah masjid atau mushala. Tapi ternyata sudah di penuhi
orang-orang yang ingin ikut perayaan malam nisfu syaban di sana. Akhirnya saya
mengikuti beberapa orang yang juga ingin shalat. Ada sebuah ruangan yang gak
besar, yang dipakai bersama shalat magrib.
Aneh dan baru kali ini bagi saya melihat orang yang shalat menggunakan batu
pipih atau kertas putih sebagai alas sujud mereka. Belum lagi posisi tangan
ketika shalat yang tidak bersedekap dan dibiarkan lepas seperti baris berbaris
dalam pramuka. Tapi gak terlalu saya hiraukan, saya shalat agak ke pojok
ruangan dengan cara sebagaimana saya sholat. Setelah saya selesai shalat,
timbul ketakutan luar biasa ketika melihat orang-orang sekeliling saya menatap
ke arah saya dengan tatapan agak keheranan. Saat itu saya teringat isi salah
satu kajian syiah di kampung, ustadz syiah waktu itu sempat mengatakan bahwa
orang-orang diluar kalangan mereka itu halal baik darah ataupun hartanya.
Secepatnya saya selesaikan dzikir dan tak lupa memohon perlindungan, karena
sejak saat itu benar-benar saya rasakan bahwa syiah dan ajaran nya cukup
mengancam keselamatan. Akhirnya saya putuskan untuk pulang setelah sempat
mengikuti acara mereka hingga jam 8 malam. Dan hari-hari setelahnya adalah hari
mencari cara agar bisa keluar dari kampus itu, agak susah juga karena dokumen
ijazah asli ditahan pihak rektorat.
Itulah sepenggal kisah masa lalu ku dengan keingintahuan yang ngeri karena
pernah menjadi syi’i. Kini, alhamdulillah ayah sudah tidak bergabung dengan
mereka lagi semenjak saya berhasil keluar dari kampus itu. Dan memang menurut
informasi, ternyata kampus itu sudah non aktif. Bahkan senior yang lebih
dulu lulus, tidak bisa memakai ijazah S1 nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar