Jumat, 28 Februari 2014

Ngeri Jadi Syi’i


Ini kisahku sekitar tujuh tahun yang lalu,
Di waktu sedang semangat-semangatnya mencari keilmuan Islam, beberapa pergerakan keislaman yang pernah saya ikuti memiliki sebutan khusus untuk para pengikutnya. Seperti syabab sebutan untuk pengikut Hizbut Tahrir. Saya pun pernah menjadi syi’i, sebutan untuk pengikut ajaran syiah.

Berangkat dari rasa keingintahuan dan amanah ibunda, saya ikut dalam beberapa pengajian rutin syiah bersama ayah yang sudah lebih dulu menjadi syi’i. Padahal saat itu saya pun tengah mencoba aktif menjadi seorang syabab bersama beberapa teman Hizbut Tahrir, banyak dari mereka yang melarang dan mewanti-wanti agar saya berhati-hati. Tapi itu malah membuat saya makin penasaran akan ajaran syiah itu sendiri.

Kurang lebih dua tahun saya mengikuti pengajian dan acara-acara syiah, mulai dari perayaan asyuro di Bandung dan Jakarta, hingga ritual malam nisfu syaban di ICC Warung Buncit pun pernah saya ikuti. Sampai-sampai saya pun pernah diberi beasiswa S1 dari mereka, pada Islamic College for Advanced Studies Paramadina Jakarta. Dan saya lolos seleksi hingga sempat kuliah di fakultas filsafat pada institusi itu meski hanya satu tahun.

Sebelumnya saya kurang banyak mengatahui kenapa syiah dianggap sebagai aliran sesat. Awalnya yang saya mengerti adalah bahwa mereka sekumpulan orang yang mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan ilmu dari gudang ilmu yang di miliki Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sapintas jika berdiskusi dengan syi’i yang sudah lama, mereka seolah memiliki gaya bahasa yang cerdas dan penjabaran yang logis. Namun dibalik itu, ternyata tidak semua kerang dalam lautan samudera berisi mutiara. Yang ini isinya malah kotoran berkerak yang di amini selama beberapa abad hingga tumbuh subur menjamur.

Saat saya mengikuti perayaan asyuro pertama kali di Bandung kalo gak salah sekitar tahun 2006 lalu, sempat kaget juga karena melihat banyaknya syi’i yang berkumpul. Saya kira tadinya ajaran ini hanya terbatas kalangan tertentu dan hanya diikuti sedikit orang, tapi ternyata tidak. Paling tidak, kurang lebih sekitar 150 orang memadati acara tersebut. Dengan pakaian serba hitam, ada pula yang ditambah corak warna merah darah bertulis arab Labbaika ya Husain.


Belum lagi pada acara inti, ketika penceramah sedang membaca kisah kematian cucu Rasulullah. Yang hadir di ruangan itu hampir semua berdiri menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang sambil teriak meronta-ronta sambil mengepalkan tangan dan memukulkannya ke dada masing-masing. Dalam hati saya berbisik, “Oh... gini ya jadi orang syiah, ngeri juga euy ternyata”.

Belum lagi sewaktu di ICAS misalnya, awalnya yang tersaring masuk dan menjalani perkuliahan berjumlah sekitar 140 orang dari sekitar 400 orang yang mendaftar se-Indonesia. Namun dalam perjalanan nya banyak yang berguguran dan meninggalkan bangku perkualiahan. Mungkin salah satu penyebab nya adalah, adanya sisipan-sisipan materi tentang akidah syiah yang diberikan dosen sewaktu mengajar.

Sebagai contoh yang sampai sekarang masih saya ingat, sewaktu mata kuliah pengantar agama Islam. Ada salah satu sesi dimana dosen menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dengan dalih bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya ada dua jenis, jika tidak khalik (pencipta) maka dia adalah makhluk (ciptaan). Sedangkan yang selama ini saya pahami sebagaimana yang di ajarkan kakek saya, yang juga merupakan ajaran salaf bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah. “Gak bener nih, ini jelas ajaran sesat dan menyesatkan”, dalam hati saya pada waktu itu.

Kengerian yang memuncak bagi saya waktu itu adalah, sewaktu mengikuti ritual malam nisfu syaban di ICC Warung Buncit. Sebenarnya kegiatan ini adalah pilihan yang ditawarkan beberapa dosen ICAS waktu itu, tapi ada yang mengatakan kegiatan ini bagian dari ekstrakulikuler kampus. Akhirnya selepas jam kuliah berakhir, saya dan beberapa teman datang ke sana mengikuti acara itu.

Saya sampai di ICC setelah adzan magrib menggaung, otomatis sesampainya di sana yang saya cari adalah masjid atau mushala. Tapi ternyata sudah di penuhi orang-orang yang ingin ikut perayaan malam nisfu syaban di sana. Akhirnya saya mengikuti beberapa orang yang juga ingin shalat. Ada sebuah ruangan yang gak besar, yang dipakai bersama shalat magrib.

Aneh dan baru kali ini bagi saya melihat orang yang shalat menggunakan batu pipih atau kertas putih sebagai alas sujud mereka. Belum lagi posisi tangan ketika shalat yang tidak bersedekap dan dibiarkan lepas seperti baris berbaris dalam pramuka. Tapi gak terlalu saya hiraukan, saya shalat agak ke pojok ruangan dengan cara sebagaimana saya sholat. Setelah saya selesai shalat, timbul ketakutan luar biasa ketika melihat orang-orang sekeliling saya menatap ke arah saya dengan tatapan agak keheranan. Saat itu saya teringat isi salah satu kajian syiah di kampung, ustadz syiah waktu itu sempat mengatakan bahwa orang-orang diluar kalangan mereka itu halal baik darah ataupun hartanya.

Secepatnya saya selesaikan dzikir dan tak lupa memohon perlindungan, karena sejak saat itu benar-benar saya rasakan bahwa syiah dan ajaran nya cukup mengancam keselamatan. Akhirnya saya putuskan untuk pulang setelah sempat mengikuti acara mereka hingga jam 8 malam. Dan hari-hari setelahnya adalah hari mencari cara agar bisa keluar dari kampus itu, agak susah juga karena dokumen ijazah asli ditahan pihak rektorat.

Itulah sepenggal kisah masa lalu ku dengan keingintahuan yang ngeri karena pernah menjadi syi’i. Kini, alhamdulillah ayah sudah tidak bergabung dengan mereka lagi semenjak saya berhasil keluar dari kampus itu. Dan memang menurut informasi, ternyata kampus itu sudah non aktif. Bahkan senior yang lebih dulu lulus, tidak bisa memakai ijazah S1 nya.

Inilah kenyataan tentang syiah yang benar-benar sudah saya alami. Memang ngeri jadi syi’i ketika yang kita yakini adalah keyakinan Ahlussunnah wal jamaah. Karena di mata mereka Ahlussunnah adalah musuh, yang harus di dekati dengan kesabaran taqiyah yang tinggi. Bila berhasil seorang Ahlussunnah bisa bergabung dengan mereka. Jika tidak, mereka akan menunggu saat-saat perebutan kekuasaan (wilayatul faqih dalam kaidah fiqh mereka). Bisa dengan toleransi dan pluralisme berbangsa, atau langsung anarkisme dan pertumpahan darah Ahlussunnah. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hagia Sophia dan Janji Allah

Hagia Sophia dan Janji Allah Syarif Taghian dalam bukunya, Erdogan: Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki mengisahkan saat Erdogan dit...