Selepas lebaran adalah waktu dimana
semuanya harus dimulai dari awal kebersihan hati, kemantapan langkah dan gelora
semangat baru tuk sambut hari-hari melelahkan dengan rutinitas pekerjaan yang
juga kembali terkadang membosankan. Seperti lembaran kertas putih yang sedianya
siap diisi berbagai cerita semangat baru, terlebih di tempat kerja yang memang
menghabiskan lebih banyak waktu dalam sehari ketimbang di rumah.
Tapi hari itu, Senin Empat Agustus
Dua Ribu Empat Belas adalah hari yang mungkin paling unik. Di hari pertama
masuk kerja kembali setelah liburan lebaran, ternyata juga adalah hari terakhir
ku bercengkerama dengan pekerjaan dan seluruh lingkungannya. Baru saja aku
sampai lobi kantor, setelah bersilaturahim dengan teman-teman yang ku jumpai. Ada
yang berpesan aku di panggil menghadap manager operasional kantor jam sepuluh
siang hari itu.
Tanpa ingin berpikir negatif, selepas
shalat dhuha ku jumpai mereka yang katanya memanggilku. Diruangan itu ternyata
aku telah ditunggu sekitar lima orang, mereka bisa dibilang para pejabat kantor
operasional tempat dimana aku bekerja.
Setelah berjabat tangan dan saling
maaf memaafkan sebagai tanda silaturahim lebaran, aku dipersilahkan duduk di
depan mereka. Kejadian itu persis seperti para hakim yang sedang mempersilahkan
duduk seorang tersangka. Saat itu aku mulai bertanya-tanya dalam hati, ada apa
gerangan ini.
Dengan hati-hati secara bergantian
mereka menjelaskan maksud di panggilnya aku menghadap, mereka pun menanyai ku
ini dan itu, menunjukkan ku ini dan itu, meminta saran ku tentang ini dan itu. Hingga
setelah sekitar satu jam aku di introgasi mereka, bisa ku simpulkan aku akan
segera kehilangan pekerjaan. Mereka memecat ku karena ke khilafan yang
termanfaatkan dengan baik oleh nya, dan hanya karena update-an status-status ku
di jejaring sosial yang mereka anggap memprovokasi rekan-rekan kantor. Sejauh mana
aku membela diri, semakin jauh pula mereka mencari-cari alasan sehingga aku
seperti layaknya benar-benar tersangka.
Setelahnya, sesaat ketika ku keluar
dari ruangan itu, tempat itu sudah seperti tempat asing bagi ku. Meski ada
seorang teman lama yang mengerti apa yang ku alami, ku jabat tangannya, erat
dia balas jabatan tangan ku seolah ingin mengatakan; “Yang sabar sahabat ku...”
Sejak saat itu, siang itu, bada
dzuhur tepatnya, aku bukan hanya bersilaturahim dengan teman-teman yang lain,
tapi aku pun pamit pada sebagian mereka. Sempat ada air mata yang jatuh, di
pipi dan di hati. Tapi semua ini sudah jalan Illahi, jalan terbaik yang mungkin
Allah pilihkan untuk ku, jalan terindah agar ku bisa lebih jauh melangkah.
Terima kasih ya Allah telah
memberikan ku pelajaran penuh makna sepanjang perjalanan pekerjaan ku di sana. Terima
kasih sahabat-sahabat ku yang jarang ku akrabi sedekat rembulan dan langit. Terima
kasih jejak-jejak waktu yang meninggalkan rasa lega sekaligus kecewa. Semoga kalian
menemukan nyaman nya waktu bercengkerama dengan pekerjaan-pekerjaan yang ada di
sana.
Ku yakin Allah adalah sebaik-baik
Pemberi tempat terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang memohonkan tempat terbaik bagi
perjalanan waktu hidupnya.
Dan memang begitu adanya, hingga
keyakinan itu mengantarkan ku pada kejutan penuh makna. Tempat terbaik –insya Allah-
itu telah dipilihkan-Nya untuk ku tak lama setelah pemecatan itu. Tempat terbaik
–insya Allah- yang kan kembali melahirkan cerita-cerita baru bagi sejarah hidup
ku. Tempat terbaik –insya Allah- yang kan menambah wawasan ku tentang salah
satu ilmu kehidupan. Allahumma aamiiin, insya Allah aamiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar