Selasa, 19 Agustus 2014

Kejutan Penuh Makna

Selepas lebaran adalah waktu dimana semuanya harus dimulai dari awal kebersihan hati, kemantapan langkah dan gelora semangat baru tuk sambut hari-hari melelahkan dengan rutinitas pekerjaan yang juga kembali terkadang membosankan. Seperti lembaran kertas putih yang sedianya siap diisi berbagai cerita semangat baru, terlebih di tempat kerja yang memang menghabiskan lebih banyak waktu dalam sehari ketimbang di rumah.



Tapi hari itu, Senin Empat Agustus Dua Ribu Empat Belas adalah hari yang mungkin paling unik. Di hari pertama masuk kerja kembali setelah liburan lebaran, ternyata juga adalah hari terakhir ku bercengkerama dengan pekerjaan dan seluruh lingkungannya. Baru saja aku sampai lobi kantor, setelah bersilaturahim dengan teman-teman yang ku jumpai. Ada yang berpesan aku di panggil menghadap manager operasional kantor jam sepuluh siang hari itu.

Tanpa ingin berpikir negatif, selepas shalat dhuha ku jumpai mereka yang katanya memanggilku. Diruangan itu ternyata aku telah ditunggu sekitar lima orang, mereka bisa dibilang para pejabat kantor operasional tempat dimana aku bekerja.

Setelah berjabat tangan dan saling maaf memaafkan sebagai tanda silaturahim lebaran, aku dipersilahkan duduk di depan mereka. Kejadian itu persis seperti para hakim yang sedang mempersilahkan duduk seorang tersangka. Saat itu aku mulai bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan ini.

Dengan hati-hati secara bergantian mereka menjelaskan maksud di panggilnya aku menghadap, mereka pun menanyai ku ini dan itu, menunjukkan ku ini dan itu, meminta saran ku tentang ini dan itu. Hingga setelah sekitar satu jam aku di introgasi mereka, bisa ku simpulkan aku akan segera kehilangan pekerjaan. Mereka memecat ku karena ke khilafan yang termanfaatkan dengan baik oleh nya, dan hanya karena update-an status-status ku di jejaring sosial yang mereka anggap memprovokasi rekan-rekan kantor. Sejauh mana aku membela diri, semakin jauh pula mereka mencari-cari alasan sehingga aku seperti layaknya benar-benar tersangka.


Setelahnya, sesaat ketika ku keluar dari ruangan itu, tempat itu sudah seperti tempat asing bagi ku. Meski ada seorang teman lama yang mengerti apa yang ku alami, ku jabat tangannya, erat dia balas jabatan tangan ku seolah ingin mengatakan; “Yang sabar sahabat ku...”



Sejak saat itu, siang itu, bada dzuhur tepatnya, aku bukan hanya bersilaturahim dengan teman-teman yang lain, tapi aku pun pamit pada sebagian mereka. Sempat ada air mata yang jatuh, di pipi dan di hati. Tapi semua ini sudah jalan Illahi, jalan terbaik yang mungkin Allah pilihkan untuk ku, jalan terindah agar ku bisa lebih jauh melangkah.

Terima kasih ya Allah telah memberikan ku pelajaran penuh makna sepanjang perjalanan pekerjaan ku di sana. Terima kasih sahabat-sahabat ku yang jarang ku akrabi sedekat rembulan dan langit. Terima kasih jejak-jejak waktu yang meninggalkan rasa lega sekaligus kecewa. Semoga kalian menemukan nyaman nya waktu bercengkerama dengan pekerjaan-pekerjaan yang ada di sana.




Ku yakin Allah adalah sebaik-baik Pemberi tempat terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang memohonkan tempat terbaik bagi perjalanan waktu hidupnya.


Dan memang begitu adanya, hingga keyakinan itu mengantarkan ku pada kejutan penuh makna. Tempat terbaik –insya Allah- itu telah dipilihkan-Nya untuk ku tak lama setelah pemecatan itu. Tempat terbaik –insya Allah- yang kan kembali melahirkan cerita-cerita baru bagi sejarah hidup ku. Tempat terbaik –insya Allah- yang kan menambah wawasan ku tentang salah satu ilmu kehidupan. Allahumma aamiiin, insya Allah aamiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hagia Sophia dan Janji Allah

Hagia Sophia dan Janji Allah Syarif Taghian dalam bukunya, Erdogan: Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki mengisahkan saat Erdogan dit...