Sabtu, 12 Desember 2015

Dari Bagian Timur Pulau Jawa


Inilah sepenggal kisah yang tersisa diantara rindu akal memikirkan kesejukan hidup dalam selimut kebersamaan. Tiada yang istimewa memang dari perjalanan kali ini, selain ceceran hikmah yang sengaja Allah hantarkan pada kami untuk sejenak membersihkan kepenatan hati dari kilau dunia. Perjalanan yang melahirkan pelajaran, barangkali itu yang memang cocok menggambarkan suasana batin saat akhir perjalanan kemarin.

Berawal dari kesepakatan kami dengan pihak mereka disana, hingga pada awal November 2015 kami berangkat dengan kereta api ekonomi jurusan Malang. Belum pernah aku rasakan perjalanan sejauh ini sebelumnya, berangkat Kamis sore tapi sampai tujuan baru pada Jum’at siang nya. Luar biasa jauh…… tapi di sinilah awal mula kisah dari bagian Timur pulau Jawa terceritakan.



Kami tiba di stasiun Malang Kotalama kurang lebih pukul setengah Sembilan pagi, disana sudah menunggu dua orang utusan mereka yang akan menghantarkan kami ke lokasi tujuan. Sebelum mulai jalan, ternyata kami lupa membeli tiket pulang. Sedangkan loket tiket stasiun belum dibuka, sementara ketika kami mau beli di Alfamart pun ternyata tiket sudah habis untuk keberangkatan hari minggu. Sempat ada panjang diskusi disana, pasalnya salah satu dari kami harus mengajar privat pada hari senin siang nya. 

Setelah cukup lama, kami putuskan mencari alternatif tiket dari keberangkatan stasiun kota lain yang terdekat dengan lokasi. Lelah mencari, dalam perjalanan menuju lokasi selain tubuh yang letih karena jauhnya perjalanan, pikiran kami disibukkan dengan tiket pulang yang belum menemui titik terang. Tapi Pak Ali, supir yang mengantar kami menasehati agar tetap tenang dan selalu berbaik sangka. Dan dia pun sampai memastikan bahwa akan ada jalan terbaik sebagai solusi dari Allah. Pak Ali ini mantap mengajarkan kami tentang kepasrahan pada Allah selama perjalanan, selain dia menjelaskan nama perkumpulan mereka beserta visi misinya. Dalam hal menyupir pun, Pak Ali cukup berani salip menyalip. Ternyata belakangan kami dengar bahwa dia memang mantan preman.
                      
Setibanya di lokasi, sekitar jam setengah sebelasan kami melihat hal yang baru. Dimana biasanya saat ada acara-acara panitia wanita sibuk menyiapkan makanan. Tapi tidak di tempat ini, Pak Ali menjelaskan bahwa di sana mereka memuliakan para wanita baik peserta maupun panitia dengan membebastugaskan mereka dari masak memasak. Tapi sebagai gantinya, para lelaki lah yang memasak untuk memenuhi kebutuhan makanan disana. Hal ini mereka lakukan dengan alasan agar para wanitanya fokus pada pembinaan yang di adakan selama acara di sana berlangsung.


Di sana kami pun bertemu dua teman yang selama ini hanya kami kenal lewat group whatsapp. Yang satu adalah bunda dari 10 orng anak yang telah berstatus janda, yang satunya seorang lelaki mungkin bisa disebut dialah inisiator kemajuan para pemuda dikalangan mereka. Yang lelaki bernama Pak Musa, dia yang terlebihi dulu bertemu dan akhirnya menjadi guide kami selama di sana. Dia terlihat ramah, enerjik dan banyak bercerita perjuangan nya di dunia pendidikan. Dari nya lah kami mendengar banyak peristiwa yang telah di lalui baik oleh kalangan mereka maupun dari dirinya sendiri.

Pertama bertemu, Pak Musa sudah terlihat pandai mengakrabkan diri dengan kami. Dia sedikit menceritakan TAPAS (Taman Pembinaan Anak Sholeh), bahwa semua kegiatan saat itu adalah memang bagian dari agenda TAPAS. TAPAS sendiri disana sudah ada sejak 18 tahun yang lalu, di dirikan oleh Ustadz Ashari –kalau gak salah-. TAPAS ini adalah semacam pendidikan non profit dimana baik pengurus maupun pengajar disana tidak mengenal sistem gaji. Pengajaran dalam pendidikan ini mengedepankan keikhlasan demi pembangunan kualitas ummat yang tangguh. TAPAS tidak mengenal spp bulanan sebagaimana dikenal pada sekolah-sekolah pada umumnya. TAPAS berdiri dan berjalan selama ini dengan kesadaran infak, baik dari orang tua murid, pengajar, pengurus maupun para donator. Tapi hal ini tidak mengurangi kualitas pendidikan itu sendiri. Ini yang menarik bagi kami.

Siang itu hari Jumat di mana seharusnya kaum muslim melaksanakan shalat Jumat, tapi kali ini tidak dengan kami. Jauhnya jarak tempuh dan keringanan yang memang diberikan Allah layak di ambil sebagai rasa syukur bahwa Allah Maha Menyayangi hamba-hamba-Nya.

Saat makan siang selepas yang lain shalat Jumat, ruang terbuka yang dijadikan dapur umum disana sudah menghidangkan makanan yang tak kalah nikmat. Meski yang memasak para lelaki, rasanya masih sama enak dan ramah ditubuh karena tidak mereka tidak menggunakan MSG sebagai penyedap. Piring yang tertata dengan takaran hidangan standart berjejer di sepanjang meja luas disana. Kalau pun ada porsi yang kurang dipersilahkan menambah. Wuuuhhh…… sederhana memang, tapi cukup luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hagia Sophia dan Janji Allah

Hagia Sophia dan Janji Allah Syarif Taghian dalam bukunya, Erdogan: Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki mengisahkan saat Erdogan dit...