Inilah
sepenggal kisah yang tersisa diantara rindu akal memikirkan kesejukan hidup
dalam selimut kebersamaan. Tiada yang istimewa memang dari perjalanan kali ini,
selain ceceran hikmah yang sengaja Allah hantarkan pada kami untuk sejenak
membersihkan kepenatan hati dari kilau dunia. Perjalanan yang melahirkan
pelajaran, barangkali itu yang memang cocok menggambarkan suasana batin saat
akhir perjalanan kemarin.
Berawal dari
kesepakatan kami dengan pihak mereka disana, hingga pada awal November
2015 kami berangkat dengan kereta api ekonomi jurusan Malang. Belum pernah aku
rasakan perjalanan sejauh ini sebelumnya, berangkat Kamis sore tapi sampai
tujuan baru pada Jum’at siang nya. Luar biasa jauh…… tapi di sinilah awal mula
kisah dari bagian Timur pulau Jawa terceritakan.
Kami tiba di
stasiun Malang Kotalama kurang lebih pukul setengah Sembilan pagi, disana sudah
menunggu dua orang utusan mereka yang akan menghantarkan kami ke lokasi tujuan.
Sebelum mulai jalan, ternyata kami lupa membeli tiket pulang. Sedangkan loket
tiket stasiun belum dibuka, sementara ketika kami mau beli di Alfamart pun
ternyata tiket sudah habis untuk keberangkatan hari minggu. Sempat ada panjang
diskusi disana, pasalnya salah satu dari kami harus mengajar privat pada hari
senin siang nya.
Setelah cukup
lama, kami putuskan mencari alternatif tiket dari keberangkatan stasiun kota
lain yang terdekat dengan lokasi. Lelah mencari, dalam perjalanan menuju lokasi
selain tubuh yang letih karena jauhnya perjalanan, pikiran kami disibukkan
dengan tiket pulang yang belum menemui titik terang. Tapi Pak Ali, supir yang
mengantar kami menasehati agar tetap tenang dan selalu berbaik sangka. Dan dia
pun sampai memastikan bahwa akan ada jalan terbaik sebagai solusi dari Allah. Pak
Ali ini mantap mengajarkan kami tentang kepasrahan pada Allah selama
perjalanan, selain dia menjelaskan nama perkumpulan mereka beserta visi
misinya. Dalam hal menyupir pun, Pak Ali cukup berani salip menyalip. Ternyata
belakangan kami dengar bahwa dia memang mantan preman.
Setibanya di
lokasi, sekitar jam setengah sebelasan kami melihat hal yang baru. Dimana
biasanya saat ada acara-acara panitia wanita sibuk menyiapkan makanan. Tapi
tidak di tempat ini, Pak Ali menjelaskan bahwa di sana mereka memuliakan para
wanita baik peserta maupun panitia dengan membebastugaskan mereka dari masak
memasak. Tapi sebagai gantinya, para lelaki lah yang memasak untuk memenuhi
kebutuhan makanan disana. Hal ini mereka lakukan dengan alasan agar para
wanitanya fokus pada pembinaan yang di adakan selama acara di sana berlangsung.
Di sana kami
pun bertemu dua teman yang selama ini hanya kami kenal lewat group whatsapp.
Yang satu adalah bunda dari 10 orng anak yang telah berstatus janda, yang
satunya seorang lelaki mungkin bisa disebut dialah inisiator kemajuan para
pemuda dikalangan mereka. Yang lelaki bernama Pak Musa, dia yang terlebihi dulu
bertemu dan akhirnya menjadi guide kami selama di sana. Dia terlihat ramah,
enerjik dan banyak bercerita perjuangan nya di dunia pendidikan. Dari nya lah
kami mendengar banyak peristiwa yang telah di lalui baik oleh kalangan mereka
maupun dari dirinya sendiri.
Pertama
bertemu, Pak Musa sudah terlihat pandai mengakrabkan diri dengan kami. Dia
sedikit menceritakan TAPAS (Taman Pembinaan Anak Sholeh), bahwa semua kegiatan
saat itu adalah memang bagian dari agenda TAPAS. TAPAS sendiri disana sudah ada
sejak 18 tahun yang lalu, di dirikan oleh Ustadz Ashari –kalau gak salah-.
TAPAS ini adalah semacam pendidikan non profit dimana baik pengurus maupun
pengajar disana tidak mengenal sistem gaji. Pengajaran dalam pendidikan ini
mengedepankan keikhlasan demi pembangunan kualitas ummat yang tangguh. TAPAS
tidak mengenal spp bulanan sebagaimana dikenal pada sekolah-sekolah pada
umumnya. TAPAS berdiri dan berjalan selama ini dengan kesadaran infak, baik
dari orang tua murid, pengajar, pengurus maupun para donator. Tapi hal ini
tidak mengurangi kualitas pendidikan itu sendiri. Ini yang menarik bagi kami.
Siang itu
hari Jumat di mana seharusnya kaum muslim melaksanakan shalat Jumat, tapi kali
ini tidak dengan kami. Jauhnya jarak tempuh dan keringanan yang memang
diberikan Allah layak di ambil sebagai rasa syukur bahwa Allah Maha Menyayangi
hamba-hamba-Nya.
Saat makan
siang selepas yang lain shalat Jumat, ruang terbuka yang dijadikan dapur umum
disana sudah menghidangkan makanan yang tak kalah nikmat. Meski yang memasak
para lelaki, rasanya masih sama enak dan ramah ditubuh karena tidak mereka
tidak menggunakan MSG sebagai penyedap. Piring yang tertata dengan takaran
hidangan standart berjejer di sepanjang meja luas disana. Kalau pun ada porsi
yang kurang dipersilahkan menambah. Wuuuhhh…… sederhana memang, tapi cukup luar
biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar